A. Pengantar; Mengapa Sukarno selalu Butuh Perempuan?
Perikehidupan
bakal tertanam, jika tali sekse antara laki-laki dan perempuan dapat
tertanam. Tali sekse ini bukan semata biologis, tetapi juga jiwa.
(Sukarno)
Bagi
Sukarno, kehadiran perempuan bukan semata teman di ranjang. Lebih dari
itu: sosok yang membesarkan jiwa. Sebab itulah, Sukarno membenarkan
penyataan Baba O’Illah bahwa laki-laki dan perempuan adalah bagai dua
sayap seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah
burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya. Namun jika patah
satu dari dua sayap itu, maka burung itu tak akan dapat terbang sama
sekali.[1]
Sukarno
mulai merasa pentingnya kehadiran perempuan, saat ia mengenal Sarinah.
Meski nama ini sering dianggap hanya sosok imajiner, namun Sukarno
mengatakan bahwa Sarinah memang nyata dalam hidupnya. Bahkan dialah,
orang yang pertama kali mengajari arti cinta kepada orang-orang kecil.
Jenis cinta inilah yang membuat Sukarno berani menggelorakan kata:
‘merdeka’. Sebab menurutnya, hanya kemerdekaan yang mampu membebaskan
manusia dari penindasan.
Sepanjang
mengimani kata ‘merdeka’, Sukarno selalu ‘dibayangi perempuan.’ Bahkan
di puncak gelora jiwanya pada tahun dua puluhan. Sukarno saat itu tampil
paripurna bersama janda cantik bernama Inggit Garnasih. Perempuan yang
lima belas tahun lebih tua ini, nyatanya mampu menjadi api yang menyulut
semangat perjuangan Sukarno. Bukan semata saat tertatih meraih gelar
insinyur di THS. Lebih dari itu, bahkan kala merasakan sepinya penjara
dan pembuangan.
Begitupun
saat Sukarno rindu dipanggil: ayah. Fatmawati yang akrab dengan
panggilan Fatma, memberinya seorang jagoan bernama Guntur. Tak lama
kemudian, beruntun nama-nama yang sangat dicintai Sukarno: Megawati,
Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh.
Kehidupan
Sukarno dengan segala dinamikanya, tak bisa lepas dari perempuan.
Nama-nama seperti: Haryati, Ratnasari Dewi, Hartini, Kartini Manopo, dan
Heldy Djafar menghias hidupnya. Mereka adalah istri sah Sukarno dengan
segala kekurangan dan kelebihannya.
Sejarah
mencatat Sukarno punya banyak istri. Ia diibaratkan don juan yang mahir
bercinta. Sukarno tak bisa jauh dari perempuan. Bahkan ia sendiri
mengatakan, “I’am a very physical man. I must have sex every day.” Sebab
itulah Fatma mengatakan, “Rayuannya sangat mematikan.” Namun ironi tak
dapat dihindari. Saat Sukarno menutup mata, hanya Inggit Garnasih yang
datang secara khusus untuk berkirim doa. Sementara Fatma hanya
mewakilkan karangan bunga bertulis kata: “Cintamu selalu menjiwai hati
rakyat, cinta Fat.”
B. Sarinah; Penebar Cinta Pada Rakyat
Secara
psikologis, Sukarno sebenarnya jauh dari ibunya, Idayu Nyoman Rai.
Kedekatannya dengan perempuan, justru didapatkan dari Sarinah. Hal
inilah yang menjadi misteri dalam sejarah. Bahwa hubungan Sukarno dengan
sang ibu memang agak renggang.
Kerenggangan
itu menurut Sukarno, terjadi karena pengaruh sikap ayahnya yang
cenderung sangat disiplin. Sikap ini lambat laun menempel dalam diri
ibunya. Sukarno mengatakan bahwa kenangan pada ayahnya, menimbulkan rasa
segan. Sedangkan jika mengingat ibunya, seolah terpatri gambaran
seorang perempuan yang sepintas lemah lembut, tetapi menutup pergaulan.
Pada akhirnya, Sukarno menjatuhkan keluh kesah kepada Sarinah. Sejak
itulah, ia merasa Sarinah sangat berpengaruh dalam hidup. Seperti
dikatakan dalam otobiografinya, “Sarinah adalah nama yang biasa. Akan
tetapi Sarinah yang ini bukanlah perempuan yang biasa. Ia adalah satu
kekuasaan yang besar dalam hidupku.” [2]
Sukarno
memang punya kekaguman tersendiri pada Sarinah. Rasa itu terbangun
ketika perempuan ini mampu menjalani hidup sederhana dan tahan
lara-lapa. Sarinah menurut Sukarno, rela melayani keluarganya tanpa gaji
sepeserpun. Bahkan lebih dari itu, membawa Sukarno ke samudra
kearifan. Sarinah mengajari arti cinta kasih. Bukan semata pada
keluarga, tetapi orang banyak. Inilah yang Sarinah sebut sebagai rakyat
jelata. Kepada Sukarno, Sarinah kerap berpesan, “Karno, yang pertama
engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi engkau juga harus mencintai
rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”[3]
Nama
Sarinah, terpatri dalam diri Sukarno. Di tahun 1940-an, kala perjuangan
kemerdekaan bergema lantang, Sukarno bahkan menyebut nama Sarinah
sebagai perlambang perempuan revolusioner. Mereka adalah perempuan yang
terbebas jiwanya dari penghambaan yang sempit terhadap laki-laki. Bahwa
menurut Sukarno, laki-laki dan perempuan hendaknya saling bergandengan
menjemput kemerdekaan. Sebab menurut nya, harmoni perjuangan hanya dapat
tercapai kalau tidak ada satu “saf” di atas “saf” yang lain, tetapi dua
“saf” itu sama derajat, berjajar yang satu di sebelah yang lain. Yang
satu memperkuat kedudukan yang lain. Tetapi masing-masing menurut
kodaratnya sendiri[4] .
Sukarno
mengabadikan nama Sarinah dalam buku bertajuk Sarinah; Kewadjiban
Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia. Secara khusus ia menuliskan
“Saya namakan kitab ini “Sarinah” sebagai tanda terima kasih kepada
pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Ia mbok saya. Ia membantu
ibu saya dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan kasih. Dari
dia saya banyak mendapat pelajaran mencintai “orang kecil”. Dia sendiri
orang kecil, tapi budinya sangat besar.”[5]
C. Inggit Garnasih; Sosok Ibu, Kekasih, dan Kawan
Inggit
Garnasih bagi Sukarno bukan sekedar istri. Lebih dari itu, ia sosok
‘ibu’, kekasih, sekaligus kawan dalam perjuangan hidup Sukarno. Inggit
hadir pada saat-saat yang paling menentukan dalam hidup Sukarno. Sebagai
‘ibu’, Inggit adalah muara kasih sayang. Ia perpaduan antara
maternalitas dan feminitas. Inggit mampu menjadi tempat bersandar kala
Sukarno dilanda kesulitan. Inggit juga menjadi tempat mencurahkan
pikiran, saat Sukarno didera kegelisahan.
Kesulitan
dan kegelisahan itu bermula saat Sukarno berjuang menamatkan kuliah di
THS. Kala itu, Sukarno tak punya biaya yang cukup. Inggit berjuang untuk
menopang hingga Sukarno menyandang gelar insinyur. Saat itu, dengan
berbunga-bunga Inggit mengatakan,“Aku merasa, aku bukan perempuan
sembarangan. Aku telah membuktikannya. Aku selamat mendampinginya sampai
di tempat yang dituju. Tujuan yang pertama tercapai sudah. Dia lulus
dengan membuat sebuah rencana pelabuhan dan meraih gelar insinyur
sipil.”[6]
Pencapaian
itu tak lantas membuat Inggit berhenti berjuang untuk Sukarno. Tahun
1929, kala Sukarno bersuara lantang melalui corong PNI, Inggit makin
dihadapkan pada tantangan. Pada akhir desember di tahun yang sama,
Sukarno ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Sukarno berpindah
tempat, dari Bantjeuj hingga Sukamiskin. Kali ini Inggit harus berjuang
sendiri. Ia mengubah diri bukan hanya sekedar istri, tetapi kekasih yang
setia mendampingi Sukarno. Dengan beragam taktik, Inggit bahkan
menembus penjara untuk mengirimkan pesanan Sukarno. Bukan sekedar
makanan, tetapi juga buku-buku. Dari perjuangan inilah, lahir pidato
melegenda berjudul Indonesia Menggugat.
Lepas
dari penjara, tepatnya di tahun 1933, Sukarno kembali mengalami
kesulitan. Ia menghadapi pembuangan ke Ende, Flores. Saat itulah, untuk
pertama kalinya Sukarno meneteskan air mata. Inggit iba. Ia merasa remuk
batinnya. Tak ada pilihan kecuali mendampingi Sukarno. Ia mengucap
setia dalam suka dan duka.
Selama
lima tahun, Sukarno bersama Inggit hidup di Ende. Lima tahun kemudian,
di tahun 1938, Sukarno dan Inggit pindah ke Bengkulu. Kala itu, Sukarno
terserang malaria. Inggit tetap setia menjadi kawan bagi Sukarno. Bahkan
ketika kesulitan makin mendera. Pada tahun 1942, Jepang mendarat di
Indonesia. Sukarno akhirnya dipulangkan ke Jawa. Kala itu, Inggit tetap
berada di samping Sukarno. Namun waktu mengubah segalanya. Cinta mereka
retak seketika. Sebab Sukarno kembali jatuh cinta. Inggit menolak
dimadu. Sebab baginya sangat tabu. Ia memilih sendiri daripada harus
berbagi.
Inggit
kembali ke Bandung. Sukarno melenggang ke Jakarta. Hingga pekik merdeka
bergema. Sukarno membina hidup baru. Bersama Fatmawati, gadis yang
telah dianggap anaknya. Namun dengan segala pengakuan, Sukarno tetap
mengatakan bahwa Inggit adalah ratu dalam hatinya. Sejarah juga mengakui
bahwa Sukarno tak akan segemilang itu, tanpa pendidikan jiwa dari
perempuan yang selusin lebih tua umurnya.
Hingga
senja, Sukarno tetap menanam rasa cinta pada Inggit. Bahkan saat
perempuan itu berbaring sakit, Sukarno datang mengunjungi. Kala itu
Sukarno bertanya, “Sakit apa Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat,
“Biasa Ngkus, penyakit rakyat.”[7] Siapa sangka, pertemuan di tahun 1960
itu menjadi akhir perjumpaan. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni
1970, Sukarno berpulang ke pangkuan Tuhan. Dengan badan ringkih, Inggit
datang ke Jakarta untuk melihat Sukarno. Saat itu terdengar suara sayu,
“Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit di doakeun…”[8] Inggit tak
sanggup melanjutkan kata-kata. Ia diam bersama air mata.
D. Fatmawati; Arti seorang Jagoan
Juli,
1943. Sukarno menikah dengan Fatmawati. Pernikahan itu berawal dari
keyakinan, bahwa Fatma, demikian panggilan akrab Fatmawati, mampu
menjadi jalan penerus keturuanan. Sebab harapan inilah, yang membuat
Sukarno kerap merasa rendah diri. Kepada Fatma Sukarno mengatakan,
“Engkau menjadi terang di mataku. Kau yang memungkinkan aku melanjutkan
perjuangan yang maha dahsyat.”[9]
Setahun
kemudian, Fatma hamil dan memberi Sukarno seorang anak laki-laki. Anak
itu diberi nama Guntur. Saat itulah, Sukarno merasa impiannya telah
tergenggam. Terlebih secara beruntun, Fatma melahirkan anak-anak yang
diberi nama: Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Kali ini,
Sukarno merasa menjadi lelaki sejati.
Bersama
Fatma, Sukarno menapaki jalan baru sebagai manusia merdeka. Namun
perjuangan belum selesai. Badai politik kembali menghempas Indonesia
yang masih muda. Konflik luar-dalam kembali bergema. Tahun 1947, Belanda
kembali menjerat Indonesia. Pada bulan April, serangan yang kemudian
dinamai agresi militer pertama, dilancarkan. Suasana makin semrawut kala
di bulan desember tahun 1948, Belanda kembali melancarkan perang.
Peristiwa ini akrab dengan nama agresi militer kedua.
Sukarno
kemudian diasingkan ke Yogyakarta. Kala itu, Fatma tetap membersamai.
Dalam segala keletihan merawat anak-anaknya, ia tetap menjadi penguat
jiwa bagi Sukarno. Fatma hadir sebagai sosok yang diimajinerkan oleh
Sukarno. Ia setia mendampingi Sukarno dalam menggelorakan perjuangan.
Namun di sisi lain, Fatma juga tunduk dalam kodratnya sebagai perempuan.
Sebab kata Sukarno, sehebat apapun perempuan—dalam dunianya, dia
tetaplah seorang yang punya dua dimensi: ibu dan istri.
Selama
sepuluh tahun, Fatma berjuang di samping Sukarno. Namun waktu kemudian
memutus kebersamaan. Pada Januari 1953, selepas lahir anak kelima, Fatma
nekat meninggalkan istana. Hatinya terluka karena Sukarno kembali jatuh
cinta. Kala itu, Fatma berucap,“Dapatkah saudara bayangkan dengan
perasaan halus, kuatkah perasaan seorang istri untuk mendengarkan
permintaan seorang suami seperti yang saya alami? Jika tidak dibantu
oleh Yang Maha Kuasa, tak mungkin aku tabah menerimanya.”[10]
Fatma
tetap sendiri. Bahkan hingga Sukarno meninggalkan bumi. Ia hanya
berkirim karangan bunga di hari terakhir Sukarno. Namun Fatma tetaplah
manusia yang punya sejuta kekaguman pada Sukarno. Ia mengatakan,
“Mendampingi Sukarno, memberiku pengalaman beraneka rupa. Bagiku, dia
tetaplah mahaputra tanah air Indonesia.”[11]
E. Penutup; Dia yang Tak Mungkin Sempurna
Sukarno,
dengan segala kekurangan dan kelebihannya—tetaplah manusia pertama
Indonesia yang berani menggemakan kata merdeka. Dia memang tidak
sempurna. Sisi manusiawi tetap bersemayam dalam dirinya. Tentang
cintanya yang penuh ironi dan bahkan tragedi. Atau bahkan suksesi yang
menguras air mata. Namun Sukarno adalah manusia yang tahu diri. Ia
sendiri pernah mengatakan, “Aku dipuja seperti dewa dan dikutuk seperti
bandit.”
Pemujaan
terhadap Sukarno, tumbuh dari kekaguman, baik fisik, pikir, maupun
sikapnya yang menawan. Sukarno adalah satu-satunya presiden Indonesia
yang meraih 26 gelar doktor honoris causa. Bukan hanya dari Asia, tetapi
juga Eropa. Bahkan Amerika juga sempat bertekuk lutut padanya.
Namun
Sukarno tetaplah manusia. Ia tidak akan menjadi bintang tanpa cahaya
yang gemilang. Cahaya itu salah satunya bersumber dari perempuan. Di
masa kanak-kanak, Sukarno menyerap energi cinta dari Sarinah. Di masa
dewasa, pada saat ia berada di titik yang paling nadir dalam perjuangan,
Inggit Garnasih hadir sebagai penawar. Selama hampir duapuluh tahun,
Inggit mendampingi masa-masa paling menentukan dalam hidup Sukarno.
Meski Inggit harus berpisah haluan di akhir perjuangan, Sukarno tetap
menempatkannya sebagai guru jiwa.
Begitupun
saat Sukarno rindu dipanggil ayah. Fatma hadir sebagai pemberi jagoan.
Sukarno tampil semakin percaya diri. Suka-duka sebagai presiden dilalui
bersama Fatma. Namun lagi-lagi, Sukarno harus menelan luka. Keinginannya
untuk mempersunting Hartini, membuat Fatma memilih pergi. Namun cinta
tak lekang. Sukarno tetap menyerap energi cinta Fatma dari anak-anaknya.
Mereka setia mendampingi Sukarno. Bahkan pada saat-saat yang paling
menyakitkan di akhir hidupnya.
Sejarah
memang tak akan kembali. Namun ia berulang, dalam bentuk dan cara
berbeda. Sukarno adalah simbol sejarah Indonesia. Dalam gelap ataupun
kala telah bercahaya. Namun dia tetaplah manusia biasa. Salah satunya,
tak sanggup berjuang jika tanpa perempuan. Sarinah, Inggit Garnasih, dan
Fatmawati adalah tiga srikandi. Mereka hadir tepat pada waktunya.
Ketika Sukarno ingin tampil paripurna di masanya.
Sumber
[1] Sukarno. (1963). Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno.
[2]
Adams, Cindy. Soekarno an Autobiography as Told to Cindy Adams. a.b.
Major Abdul Bar Salim. (1966). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
[3] Ibid., hlm. 10.
[4] Sukarno. (1963). Ibid. hlm. 20.
[5] Ibid., hlm. 5-6.
[6] Ramadhan KH. Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. (Bandung: Kiblat Utama, 2002), hlm. 40.
[7] Reni Nuryanti. (2006). Perempuan dalam Hidup Sukarno; Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak. hlm. 340.
[8] Reni Nuryanti, dkk. (2007). Istri-Istri Sukarno. Yogyakarta: Ombak. hlm. 75.
[9] Reni Nuryanti. (2008). Tragedi Sukarno dari Kudeta Hingga Kematiannya. Yogyakarta: Ombak. hlm. 198.
[10] Arifin Suryo Nugroho. (2009). Fatmawati; First Lady. Yogyakarta: Ombak. hlm. 92.
[11] Reni Nuryanti, dkk. (2007). op.cit., hlm. 102
0 comments:
Posting Komentar