Seekor weling merayap pelan. Matanya menatap tajam mangsa yang ada di depannya. Perut kembang kempis menunjukan hasrat memakan korban. Ia terus berjalan sambil menjulurkan lidah. Pelan dan pasti. “Hap!” Mangsa dililit kuat-kuat meski terus meronta. Segala daya dikerahkan untuk melepas lilitan. Ia meronta dan terus meronta, hingga akhirnya:
“Tolong! Tolong ! Tolong!”
Bintang berteriak hingga serak.
Seketika
tetangga lari blingsatan. Rumah kos berisi tiga kamar itu, seola
h guncang. Ranjang reot milik tiga penghuni serasa ambruk. Teriakan Bintang membuat nyamuk bringas beterbangan. Cicak memaku dalam remang. Kodok yang sedang berpesta di genangan air, sejenak terdiam. Suasana panik dalam teriakan ketakutan.
h guncang. Ranjang reot milik tiga penghuni serasa ambruk. Teriakan Bintang membuat nyamuk bringas beterbangan. Cicak memaku dalam remang. Kodok yang sedang berpesta di genangan air, sejenak terdiam. Suasana panik dalam teriakan ketakutan.
“Ada apa, Mbak Bintang?”
Pintu
kamar digedor berkali-kali. Mata Bintang terbelalak. Secepat kilat ia
bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Dua tetangga kamar berdiri
memaku. Yuni si gadis Batak erat memeluk guling. Sementara Mimin si
‘pujakesuma[1] sibuk merapikan rambut panjangnya. Wajah kusut mereka menunjukan kepanikan.
“Aku digigit ular.”
“Hah! Mana? Mana? Mana ularnya, Mbak?” Tanya Yuni dan Mimin dengan nada bercampur kepanikan.
“Rupanya hanya mimpi. Bukan ular sungguhan,” jawab sambil menggaruk kepala.
Bintang terdiam. Mimin dan Yuni senyum-senyum sambil menggoda.
“Ularnya cakep apa tidak, Mbak?”
“Ah, kalian! Masih saja bercanda.”
Bintang
menutup pintu. Ia terdiam mengusir bimbang. Pikirannya melayang pada
cerita-cerita yang kerap diumbar banyak orang. Tafsir mimpi digigit ular
memang lekat di hati masyarakat. Tak jauh-jauh dari pertanda: jodoh
telah tiba.
Jarum
jam bergerak ke angka empat. Berkali-kali Bintang menarik nafas
panjang. Tak lama kemudian, perempuan berbadan ramping itu beranjak
untuk bersuci. Bintang lalu tenggelam dalam lautan sajadah. Sejam
kemudian, nama Tuhan disebut lewat alunan adzan. Bintang membuka hari
dengan satu pertanyaan, “Apa maksud mimpiku malam ini?”
Bukankah
ular bukan pertanda kebaikan? Ia diyakini sebagai jelmaan jin. Ular
masuk dalam mimpi buruk untuk menggelisahkan anak Adam. Bukankah begitu
Nabi mengatakan? Bintang berpikir bahwa ular adalah pertanda jeratan.
Bukankah makhluk melata ini gemar menjerat mangsa dengan juluran dan
lilitannya. Mudah-mudahan, jerat kebahagiaan. Sebab Bintang memang
sedang resah menunggu jodohnya. Akankah pertanda, laki-laki yang
diimpikan telah datang untuk menjerat hatinya?
***
Dua
bulan berlalu semenjak Bintang memberi amplop warna biru. Dua lembar
surat terselip di dalamnya. Tertuang jawaban yang sebelumnya ditunggu
laki-laki bernama: Fardan. “Aku menerimamu kembali, Far. Tetapi,
mungkinkah kita mampu mereguk makna bahagia? Seperti Adam yang setia
pada Hawa atau bahkan Muhammad yang menyejarah cintanya kepada
Khadijah?” Kini Bintang menunggu. Kapan kiranya Fardan membalas
suratnya. Sebab di akhir tulisan Bintang bilang, “Aku menunggu
jawabanmu.”
Dua
bulan berlalu. Fardan belum memberi kepastian. Padahal saat terakhir
berjumpa di Yogyakarta ia bilang, “Bintang, maukah engkau menerimaku
kembali. Kendati waktu dan jarak sempat memisah?“ Tak perlu banyak waktu
untuk bilang: “iya”, sebab Bintang masih berharap pada Fardan. Namun
harapan berubah ketidakpastian. Ibarat musim, hujan berubah kering.
Kemarau. Tandus. Gersang. Bintang merasakan kibasan badai kebimbangan.
Menunggu, biarpun menyakitkan.
***
“Mbak Bintang, ada tamu.”
Suara
lembut Mimin membuat Bintang berhenti menggores pena. Sejak kuliah,
Bintang menempa diri di dunia menulis. Artikel, cerpen, novel, hingga
buku sudah dibuatnya. Bintang menulis bukan sekedar memenuhi hasrat
hobi. Lebih dari itu katanya, “Aku menulis untuk hidup. Hidup jiwa.
Hidup hati. Hidup pikiran. Juga hidup perut.“ Bintang tak bisa bersandar
pada penghasilan pas-pasan. Semenjak merantau ke Serambi Mekah sebagai
dosen, ia memang harus ekstra berjuang. Gajinya tak sanggup untuk bayar
kontrakan dan kebutuhan yang lain.
Dosen: kertase sak dus, duwite sak sen[2],
begitulah kiranya ungkapan yang tersemat untuk dosen muda di kampus
swasta. Tapi bukan itu sebenarnya. Bagi Bintang, pengabdian yang
dinaungi ketenangan, jauh lebih menghidupkan. Bergelimang materi bukan
menjadi bukti menjadi manusia sejati. Sebab tujuan hidup adalah mengejar
yang satu: keridhaan Tuhan. Apa, di mana, dan bagaimanapun, jika Tuhan
ridha, maka yang terlekat adalah: kebahagiaan.
Universitas
Hasjimi bagi Bintang adalah lumbung pengalaman. Pahit-manis hidup
dalam perbedaan budaya, membuatnya harus bertahan. Dalam bimbang yang
kadang menyerang, Bintang merindukan sosok kawan. Fardan adalah sandaran
harapan. Namun waktu tak segera memberi jawaban. Haruskah Bintang
berpaling, tak lagi memicingkan mata pada kumbang-kumbang yang datang?
“Siapa, Min?”
“Dua lelaki, Mbak. Penampilannya sangat rapi.”
Bintang
digerus rasa penasaran. Ia menghampiri Mimin. Hatinya terus menoreh
tanya, “Siapa ya?” Tak lama kemudian, ia berjalan tergesa. Mata Bintang
terbelalak saat membuka pintu. Dua laki-laki berbadan tegap dan
berkulit putih duduk di kursi. Mereka mematung melihat Bintang. Kikuk,
itulah yang dirasakan keduanya. Lelaki bernama Langit dan Panca itu
saling pandang. Sementara Bintang salah tingkah dengan raut muka
memerah.
“Maaf, ini dengan Mbak Bintang?”
Panca,
menyapa dengan nada seolah tak percaya. Bintang jadi bingung, kenapa
laki-laki yang sebelumnya pernah ia kenal lewat cerita mahasiswanya itu,
seolah heran melihat dirinya. Bintang memang tahu sedikit tentang
lelaki yang belum dua tahun menyandang gelar duda ini. Istrinya
meninggal saat melahirkan anak kedua. Kabarnya, Panca sedang mencari
pengganti sang istri, perempuan tercantik di kampungnya yang juga anak
pengusaha.
Kepergian
sang istri, membuat Panca kehilangan pegangan. Ia kasihan melihat
anaknya yang tumbuh tanpa dekapan seorang ibu. Panca terpaksa menitipkan
gadis mungil bernama Syifa itu kepada ibunya. Ia sendiri bekerja
sebagai penyuluh di Gampong[3] Rayeuk.
Empati
tentang Panca, memang pernah merasuk ke jiwa Bintang. Saat itu
mahasiswanya bilang, “Ibu, menikah saja dengan Pak Panca. Orangnya
sangat baik.” Bintang memandang sesaat kepada lelaki yang dari kejauhan
tampak sigap menjaga anaknya. Kejadian itu rasanya belum lekang dari
ingatan Bintang. Sebab hanya seminggu berselang saat Bintang jalan-jalan
ke balai kota. Kini, laki-laki bermata sendu itu hadir, tepat di
depannya.
“Iya, betul. Saya Bintang. Ada apa ya?”
“Saya
sangat menyukai tulisan Mbak di koran Serambi. Kalau tidak salah,
judulnya Khadijah; Cinta yang Tak Lekang. Saya berulang-ulang membaca
dan merenungkannya.”
“Terima kasih sebelumnya, sudah baca tulisan saya.”
“Ya,
mungkin Mbak Bintang kaget dengan kedatangan saya dan Langit ke mari.
Saya ingin bertemu langsung dengan Mbak. Barangkali, saya bisa belajar
menulis. Almarhumah istri saya juga suka menulis. Hanya saja, tidak
pernah dipublikasikan.”
“O, begitu. Baiklah, kita atur saja waktunya.”
“Begini saja, Mbak Bintang,” sela Langit dengan suara lembut.
“Ya, bagaimana Mas?”
“Setiap
Jumat sore di pendopo ada pelatihan menulis. Bagaimana kalau Mbak ikut
membagi ilmu di sana. Bang Panca juga bisa sekalian hadir.”
“Hemm…bisa juga. Kebetulan, kalau Jumat sore saya jarang ada kegiatan.”
***
Sebulan
berlalu semenjak kedatangan Langit dan Panca. Bintang gelisah. Ia
terngiang dengan e-mail Panca yang dikirimkan kepadanya.
“Mbak
Bintang, bolehkah aku memanggil dengan nama: Bintang? Rasanya lebih
akrab karena umur Bintang juga jauh lebih muda dari saya. Kita terpaut
hampir delapan tahun. Bintang, aku hampir dua tahun menduda. Anakku
menginjak usia dua tahun. Ia mendamba ibu. Aku sudah berusaha untuk
memberi. Namun Tuhan belum mengamini. Anakku pernah melihatmu di toko
buku. Saat itu, engkau tersenyum padanya. Ia girang. Ia senang. Seolah
menyangka, engkau ibunya. “Papa, itu mama ya?” Suara cedalnya, Bintang.
Aku tak sanggup. Aku tak kuasa mendengarnya. Aku ingin Nafisa hadir.
Tapi itu tidak mungkin. Haruskah aku menggali kuburnya. Membuka
kafannya. Aku terlalu cinta. Ia sempurna bagiku.”
“Bintang,
anggaplah aku pengemis atau bahkan gila. Tapi aku susah mencari cara.
Bintang, kamu masih ingat Langit kan? Aku berharap, engkau menjadi
pendampingnya. Dia baik lagi sederhana. Aku kenal dekat dengannya.
Bahkan saat aku merasa hancur sejak kepergian Nafisa, Langit menampung
kesedihanku. Bara semangatnya menghangatkan jiwaku yang beku.
Berhari-hari aku meratapi nasib. Tapi Langit membuka pintu harapan:
kehilangan seseorang tak berarti hilang segalanya. Setidaknya jika
Langit bersamamu, Syifa bisa merogoh kasih sayangmu. Sebab aku tak
pantas buatmu.”
Bintang
terkejut membaca pernyataan Panca. Prasasti penerimaan yang sedang
dipahat, hancur berkeping. Mungkin bagi Panca, Bintang tak lebih
bersinar dibanding Nafisa. Apalagi posisi sebagai perantau, membuat
Panca harus berpikir panjang. Terlalu banyak aral melintang. Doa
berakhir pada satu kata: mundur. Bintang juga tak habis pikir, apakah
Langit memang kado Tuhan untuknya. Sebab aneh rasanya, kenapa ia sanggup
membuat Panca membuang perasaan padanya.
***
“Bintang, aku ingin meminangmu.”
Langit
mengucap lembut lewat ponsel. Bintang terdiam. Ia menggantung jawaban.
Bagi Bintang, Langit memang istimewa. Saat Panca mengajak ke kostnya,
hati Bintang berdesir. Langit, guru muda yang baru dua tahun menyandang
pegawai. Ia sosok sederhana yang setia menaiki cup 70. Panca tahu segala
kekurangan hidup Langit. Bahkan katanya, “Bintang, engkau harus sanggup
makan nasi campur garam.” Perkataan Panca membawa nilai tersendiri
pada Langit. Tak bisa dipungkiri, keteduhan wajah Langit seolah jadi
cahaya buat Bintang.
Namun
Bintang masih ragu. Ada Fardan di hatinya. Masih saja, nama laki-laki
yang sudah dikenalnya sejak kuliah ini, nongkrong di ruang hatinya.
Bintang bimbang dalam penantian. Sudah dua bulan suratnya dilayangkan.
Tak ada tanda-tanda Fardan akan mengirim jawaban. Bintang mencoba
menghubungi Fardan. Berkali-kali ia memencet nomor tujuan. Namun jawaban
sungguh menyakitkan: “Nomor yang anda hubungi sedang sibuk, cobalah
beberapa saat lagi.” Bintang tak putus asa. Ia tetap menunggu. Suatu
hari Fardan akan memberi jawaban. Mungkin lewat panggilan atau sekedar
pesan.
Hari
berganti. Bulan berlalu. Fardan tak kunjung menghubungi. Bintang mulai
berpikir, mungkin ini jawaban Tuhan atas segenap curahan hatinya. Hingga
dua minggu kemudian, ia memberi kejutan pada Langit. Dalam hening
malam. Saat manusia larut dalam kantuk. Saat badan membujur dalam mimpi.
Bintang berucap pelan, “Mas Langit, aku menerima pinanganmu.”
Bintang
teringat pada mimpinya beberapa bulan lalu. Gigitan ular adalah
jeratan. Langit menjerat hatinya untuk menerima hadiah yang dinanti
perempuan: kepastian. Sejak itu, Bintang pelan-pelan membuang ingatan
pada Fardan. Tak ada lagi tempat di hati, meski sehari setelah itu
Fardan mengirim jawaban.
“Bintang,
aku sudah beli sepeda motor baru. Aku bekerja keras demi memberi yang
terbaik untukmu. Kamu kan tahu, aku hanya punya ‘astuti butut’. Mana
mungkin sanggup membawa kita jalan-jalan keliling Yogyakarta. Aku
berjanji pada diriku, akan menghubungimu jika motor impian itu sudah ada
di tangan. Maafkan aku Bintang, jika membuatmu bimbang. Tapi
percayalah, aku akan selalu setia untukmu.”
Bintang meneteskan air mata. Bibirnya berucap lirih, “Terlambat.” [selesai]
[1] Pujakesuma adalah sebutan untuk orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatera.
[2] Ungkapan berbahasa Jawa yang artinya: kertas satu dus, uang hanya satu sen.
[3] Gampong adalah kata berbahasa Aceh yang artinya dengan kata: desa/kampong.
0 comments:
Posting Komentar