Saya mempunyai keyakinan, bahwa seandainya bangsa kita tidak putus naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang.
(Ki Hadjar Dewantara)Guru, digugu lan ditiru atau dengan kata lain: dipatuhi dan diteladani. Menjadi guru berarti menyandang tanggungjawab untuk: membimbing, memotivasi, sekaligus menjadi pemimpin yang mencitrakan keteladanan. Ki Hadjar Dewantara menyebutnya piwulang: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Menyinggung piwulang tersebut, ada hal penting yang harus dimunculkan oleh guru di era globalisasi yang sarat tantangan. Mereka harus punya bekal yang dinamakan profesionalitas yang menunjuk pada kemampuan: akademik, praktik, dan moral yang mencakup sikap: jujur, tanggungjawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli.
Ketiganya harus berjalan berirama, sehingga akan memunculkan sosok guru yang berkualitas. Salah satu cara adalah membangun pendidikan yang berbasis kearifan lokal, tanpa mencabut akar budaya. Semua ini dilakukan untuk mewujudkan karakter dan identitas peserta didik—dua komponen pokok yang membentuk jati diri.
Komponen ini menjadi agenda besar pendidikan di Indonesia. Karakter yang bertumpu pada nilai moral adalah pondasi, sedangkan identitas adalah cerminan bangsa yang berbudaya. Untuk membentuk keduanya, sentuhan kontinyu harus dilakukan pada sisi psikologis yang bernama mental.
Para guru dapat berkreasi secara aktif. Pendidikan berkualitas tidak musti selalu mengedepankan fasilitas berbasis IT. Justru yang penting dan mendasar adalah mengembangkan dimensi lokal. Ada mutiara hikmah yang membentuk manusia secara utuh. Paulo Freire mengingatkan bahwa guru tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi harus memerankan diri sebagai pekerja kultural (cultural workers) yang melandaskan kearifan. Sebuah dimensi penting berbasis IESA (Intelectual, Emotional, Spiritual, And Adversity Quotiens), menjadi garda depan dalam membangun kualitas pendidikan.
Pendidikan Berkarakter, Pendidikan Masa Depan
Membentuk manusia berkarakter, menjadi agenda besar pendidikan masa depan. Jerman FW Foerster, salah satu perintis pendidikan karakter, mengatakan bahwa model ini merupakan sintesis sekaligus alternatif mengatasi kejumudan model: natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.Agenda tersebut seharusnya melekat pada guru sebagai salah komponen dasar keberhasilan pendidikan. Keberhasilan tersebut bukan hanya disimbolkan dengan pemberian nilai akademik yang tercermin secara kognitif. Namun demikian, tertera pada pembentukan sikap mental peserta didik yang merupakan bangunan: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pendidikan sebagai sebuah ‘komunikasi’ antara fisik dan mental peserta didik, seharusnya dikembangkan secara tepat dalam upaya membentuk manusia yang merdeka serta memiliki: martabat, mentalitas, dan sikap demokratik. Sifat inilah inilah yang akan menumbuhkan karakter. Karena itulah menurut Driyarkara, komunikasi ini harus terus dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan.
Niccolo Machievelli menuliskan bahwa karakter yang kokoh mampu menggantikan kekurangan kodrati yang tumbuh secara alamiah dengan penyempurnaan yang terus menerus. Dengan demikian menurut Martin Buber, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari orang lain yang membentuk kepribadian. Campur tangan orang lain adalah penentu yang mampu merubah dan membina karakter. Di sinilah peran guru menjadi kunci. Lebih jauh, Foerster menyinggung bahwa karakter merupakan jalan untuk menjadi identitas untuk mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
IESA Quotiens; Komponen Pokok Pembentukan Pendidikan Berkarakter
Manusia secara umum dikarunia tiga kecerdasan yaitu: intelektual, emosional, dan spiritual. An. Ubaedy menambah satu lagi, Adversity Quotient (AQ). Lalu apa kaitanya dengan peran guru dalam membentuk pendidikan berkarakter?Pertama, kecerdasan intelektual dibedakan menjadi delapan kelompok yakni: Kecerdasan Linguistik (Lingusitic Intellegence), Kecerdasan Logika-Matematika (Logical-Mathematical Intellegence), Kecerdasan Spasial (Spatial Intellegence), Kecerdasan Kinestetik Tubuh (Bodily-Khinestetic Intellegence), Kecerdasan Musikal (Musical Intellegence), Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intellegence), Kecerdasan Intrapersonal (Interpersonal Intelligence), dan Kecerdasan Naturalis (Natural Intelligence).
Semuanya merupakan modal pokok yang seharusnya dipahami oleh seorang guru. Tiap siswa mempunyai kecenderungan dalam mengolah kecerdasan. Tugas guru adalah membimbing dan memotivasi agar mereka mampu memaksimalkan sebagai kunci kesuksesan hidup.
Secara emosional, kesuksesan ini kemudian ditunjang oleh kecerdasan emosional. Intelektual saja tidak cukup. Tanpa dukungan sikap emosi yang tangguh, manusia menjadi egois. Sikap ini yang terkadang membuat seseorang terpuruk dalam hubungan sosial. Tidak heran, muncul sindiran, “Cerdas tapi tak mampu mengolah hidup.” Inilah yang harus dijembatani. Quraish Shihab misalnya mengatakan, akal dan hati harus berpadu dalam membangun pengetahuan, termasuk dalam pendidikan. Pengetahuan tidak hanya digerakan oleh akal, tetapi juga hati. Singkatnya dikatakan, fungsi hati adalah meneguhkan akal.
Keteguhan tersebut akan lebih mengakar apabila ditopang oleh kecerdasan spiritual. Bagian ini yang kadang kurang disentuh, padahal sangat utama dalam kehidupan. Makna spiritual adalah mendekatkan manusia, dalam hal ini peserta didik, kepada hakikat dan nilai-nilai ketuhanan.
Kesadaran pada hakikat Tuhan inilah, yang membuat manusia tunduk dan patuh pada kebenaran. Ia akan menjalankan roda kehidupan berdasar ketentuan dan aturan yang universal, sekaligus mengandung makna ukhrawi. Ari Ginanjar Agustian, pencetus ISQ Power, menuliskan bahwa titik Tuhan (God Spot) itu tercermin dari laku manusia yang selalu mengembalikan aktivitasnya sebagai implementasi nilai-nilai ketuhanan. Ketika manusia mengingat Tuhannya, segala aktivitas bukan hanya bermakna humanis, tetapi juga agamis. Ini artinya, ada proses perubahan dari keyakinan (believes) menjadi perilaku (behaviours).
Agama bukan hanya menjadi ilusi infantil—tempat berkeluh kesah sementara—tetapi menjadi tujuan akhir, termasuk menjembatani ketika filsafat dan ilmu pengetahuan tak lagi mampu menjawab persoalan hidup. Titik kulminasi dari kejenuhan menjawab masalah ilmu pengetahuan, hanya dapat ‘ditanyakan’ secara langsung kepada agama.
Selanjutnya ketika kesulitan hidup menghampiri, AQ ‘menyapa’ dengan optimis. Kesulitan bukan menjadi halangan apa lagi titik akhir untuk menjalani kehidupan. Justru semua itu adalah pelajaran dan pendidikan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Kesulitan justru menjadi peluang, sekaligus tantangan kehidupan. Keberanian menghadapinya adalah keputusan terbijak. Kekuatan mengolahnya, adalah manifestasi kecerdasan.
Persoalan semacam ini, sudah menjadi fenomena umum dalam dunia pendidikan. Beragam masalah kerap melanda peserta didik. Kadarnya beragam, bisa ringan maupun berat. Kompleksitas yang terangkai di dalamnya adalah komponen pelajaran hidup yang harus dihadapi dengan penuh keberanian. Seperti dikatakan oleh RA. Kartini, “Maju dan berani! Semua harus diawali dengan keberanian! Barang siapa tidak berani, dia tidak akan mampu mengarungi tiga perempat dunia.”
Karakter dan Identitas Berbasis IESA Quotiens; Pilar Manusia Masa Depan
Kualitas seorang guru bukan hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tetapi seberapa besar ia mampu membangun: karakter dan identitas. Inilah pola pemikiran yang harus dibangun di tengah perubahan zaman. Beragam masalah yang timbul pada peserta didik seperti: tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba—wujud memudarnya karakter dan identitas peserta didik.West C. mengingatkan, kejahatan manusia (brutality) merupakan tanda menurunkanya moral manusia yang sekaligus menandai lemahnya karakter dan indentitas mereka. Dari sisi kecerdasan, IQ yang tidak diimbangi dengan EQ dan SQ, hanya akan menjerumuskan manusia pada ‘malapetaka kehidupan.’ Dengan demikian, tugas guru sebenarnya sangat kompleks. Secara filosofis, ia memegang 3 peran: epistimologi, aksiologi, dan metafisika (forma). Sedangkan secara praktik, ia menggenggam peran sebagai: teladan, pembimbing, sekaligus pemimpin.
Dengan filsafat epistemologi, guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Sedangkan filsafat aksiologi, mengarahkan guru untuk memahami kebutuhan warga belajar, baik kuantitas maupun kualitasnya. Keduanya akan terekam kuat dalam diri peserta didik, apabila dilandasi oleh keyakinan yang kokoh. Keyakinan ini dilandaskan pada jembatan trasendental yang dinamakan agama.
Kekokohan tersebut akan lebih terlihat, jika didukung oleh kearifan lokal. Jangan anggap enteng nilai-nilai lokal, karena dari sinilah bermulanya sebuah identitas. Bangsa Indonesia sedang dilanda ‘penyakit akut’ yakni kehilangan identitas. Bahkan sebuah sindiran pedas sering didengar, “Orang Indonesia kalau tidak ke-Barat-Baratan, ya Ke-Arab-Araban.” Lalu di mana identitas Indonesia yang katanya berakar pada nilai budaya bangsa nan luhur? Di mana adat ke-Timuran yang menjunjung moral?
Persoalan tersebut dapat disemai melalui pendidikan. Peran guru sebagai teladan menjadi sangat sentral. Ia bukan hanya berkewajiban menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga moral sebagai kaidah pokok pembentukan karakter peserta didik.
Mau tidak mau, harus diakui bahwa mental dan identitas manusia Indonesia sedang berada di persimpangan antara ‘pingsan dan ‘mati suri’. Tugas guru adalah menghidupkan karakter dan identitas peserta didik sebagai bagian dari masyarakat yang akan menjadi pemimpin. Paul Suparno misalnya mengatakan, “Bangsa Ini tidak maju sebenarnya bukan pertama-tama karena anak-anak tidak baik, tetapi karena banyak orang tua, orang dewasa, termasuk pimpinan yang tidak berkaraketer baik.” Wakil presiden, Budiono, juga mengatakan, “Seorang pemimpin bukan hanya harus terampil dan pandai, tapi juga harus memiliki karakter. Karakter ini yang akan menentukan seorang pemimpin lebih unggul daripada pemimpin lain, apalagi kita harus bersaing di kancah globalisasi dunia di berbagai bidang. Karakterlah yang akan menguji seorang pemimpin di saat yang sulit. Apakah bisa benar-benar menjadi pemimpin, atau malah hanya sebagai pengikut dan penonton saja." Singkat kata menurut Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta mengingatkan, ”Pendidikan karakter dapat menjadikan individu ''smart and good''.
Dengan demikian, menjadi guru berarti harus siap untuk menjadi ‘empu’ yang menempa, membentuk, dan mencipta manusia masa depan yang berkarakter dan punya identitas nasional yang kokoh. Dua pilar inilah yang akan mewujudkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, komponen utama kualitas pendidikan bertumpu pada: kemampuan (capability) guru dalam ‘mengolah’ mental peserta didik.
Kualitas peserta didik ditentukan pada optimalisasi kecerdasan yang ditopang kekuatan: intelektual, emosional, spritual, dan kekuatan memanfaatkan peluang dalam kehidupan. Optimalisasi kecerdasan yang ditopang oleh kearifan lokal, akan memunculkan bentuk identitas yang utuh sebagai manusia Indonesia. Sehebat apapun pendidikan, jangan sampai mencabut akar budaya lokal. Sebaliknya, justru menjadikannya tonggak masa depan bagi peserta didik.
Penutup
Menjadi guru, berarti harus siap untuk membentuk dan mencipta manusia masa depan yang berkarakter dan punya identitas nasional yang kokoh. Dua pilar inilah yang akan mewujudkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, komponen utama kualitas pendidikan bertumpu pada: kemampuan (capability) guru dalam ‘mengolah’ mental peserta didik.Kualitas peserta didik sebagai in put yang telah merasakan olah throught put, ditentukan pada optimalisasi kecerdasan yang ditopang kekuatan: intelektual, emosional, spritual, dan kekuatan memanfaatkan peluang dalam kehidupan.
Optimalisasi kecerdasan yang ditopang oleh kearifan lokal, akan memunculkan bentuk identitas yang utuh sebagai manusia Indonesia. Sehebat apapun pendidikan, jangan sampai mencabut akar budaya lokal. Sebaliknya, justru menjadikannya tonggak masa depan bagi peserta didik.
0 comments:
Posting Komentar